Bisakah IMM berpikir ; Menjawab Kegelisahan Kader di Sulawesi Selatan

Pertanyaan diatas kembali dituliskan lama setelah penulis mengikuti Latihan Instruktur di kawasan pantai Suppa beberapa tahun yang lalu. Saat itu, Instruktur kami memperkenalkan sebuah tema singkat “Bisakah Instruktur IMM berpikir”. Pertanyaan ini sesungguhnya tanpa tanda tanya, sebab jawaban yang diinginkan bukanlah “ya” atau “tidak”. Tapi bagaimana, gugatan ini menyoal tentang karakter, sifat dan perilaku berorganisasi kader IMM.

Berfikir adalah sebuah kehendak kreatif manusia yang juga mesti dilakukan oleh kader IMM. Berfikir dalam hal ini tidak dilakukan sejenak atau periodik, tapi untuk skala besar misalnya untuk kejayaan organisasi kedepan. kehendak kreatif adalah suatu yang bertujuan, yaitu diri selalu bergerak ke satu arah yang lebih mencerahkan (transformatif). Berpikir tidak melepaskan diri dari sejarah, realitas, dan masa depan, dengan berpikir seseorang akan lebih memahami konsep dan prinsip hidupnya kemudian menimbulkan kesadaran yang mendalam untuk bertindak. (Konstemasi Ideologi : Naim).

Malam ini penulis mendapat kesempatan bersama Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sulawesi Selatan dalam sebuah acara makan malam singkat di salah satu sudut kota Parepare. Kami berbincang santai, dan pertanyaan ini kembali penulis ungkap atas beberapa tema yang menjadi dinamika Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. “Bisakah kader IMM berpikir”.

Pertama, IMM Sulsel menyiapkan Lokakarya Perkaderan dalam waktu dekat. Dari beberapa diskusi yang berkembang, penulis justru sangat khawatir jika kegiatan ini tidak menjawab kebutuhan organisasi yang sebenarnya. Sistem Perkaderan yang diperdebatkan akan menambah catatan kerumitan proses jika tidak diawali dengan internalisiasi sistem itu sendiri. Penulis akan berangkat dari klarifikasi istilah “sistem” dan “perkaderan”. Secara leksikal, sistem berarti seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu kesatuan atau totalitas. Catatan bagi penulis (ketua korps Instruktur IMM kota Parepare), sistem yang dimaksud diatas tidak lagi bisa ditemukan dalam proses perkaderan. Misalnya seperti yang selalu dipersoalkan adalah prosedur pemandatan Instruktur, pelaksanaan follow up dan pelaporan kegiatan. Begitupun saat perkaderan lintas daerah, Darul Arqam Madya misalnya tidak menerapkan sistem yang komprehensif.

Terkait dengan “perkaderan”, yang pengucapan dan penulisannya sering tertukar dengan “pengaderan” atau “perkaderan” perlu diklarifikasi. Pengaderan adalah proses, cara, perbuatan mendidikan atau membentuk seseorang menjadi kader. Dalam pengaderan ini, posisi kader atau peserta training menjadi objek dan pasif sebagai orang yang dididik atau dibentuk menjadi kader. Adapun “perkaderan” berasal dari kata dasar kader ditambah prefiks nominal “per” dan sufiks “an” (perihal yang berhubungan dengan, antara lain, kader). Dalam “perkaderan”, posisi kader atau peserta training menjadi subyek dan aktif. Jadi, istilah yang tepat untuk disandingkan dengan sistem adalah perkaderan. (Baca : SPM).

Jika menyimak tantangan perkaderan yang berlangsung saat ini, bahwa bukan hanya istilah “perkaderan” dan “pengaderan” yang sering tertukar dalam penulisan dan pengucapan. Tapi proses yang di-implementasikan organisasi juga sedang berlangsung dan terjadi pembiaran. Penulis menyebutnya sebagai kegiatan “perkaderan” yang repetitif tanpa kreativitas. Disinilah pertanyaan judul diatas penting untuk diulang “Bisakah IMM Berpikir”.

Kedua adalah, IMM Sulawesi Selatan masih mengusung program Sekolah Paradigma sebagai proyek gerakan keilmuan. Program ini sebagai bentuk otokritik terhadap melemahnya kompetensi intelektual kader-kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah khususnya di Sulawesi Selatan. Setidaknya rencana strategis sekolah paradigma berupaya untuk :

  • Menyiapkan kader dan aktivis IMM yang mapan dalam wawasan epistemologis sehingga akan mudah terserap dalam kaderisasi formal.
  • Menjadikan IMM sebagai kontributor wacana dan ide ditengah kentestasi intelektual gerakan kemahasiswaan.
  • Menjadikan IMM sebagai lumbung intelectual enrichment dengan melahirkan banyak kegitan keilmuan seperti study club, lembaga penelitian, lembaga jurnalistik dan lainnya.
  • Mengintegrasikan wacana intelektual disetiap level kepemimpinan serta menyiapkan referensi yang relevan dalam tradisi keilmuan.
  • Mendorong kader-kader IMM untuk aktif dalam tradisi riset khususnya di Perguruan Tinggi Muhammadiyah maupun Negeri. Misalnya Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Tinggi.

Terakhir adalah, baik perkaderan, gerakan keilmuan dan gerakan lainnya mesti dijalankan dalam sebuah sistem yang terpadu. Bahwa proses kaderisasi tidak boleh lagi terpolarisasi apalagi jika hanya diurusi oleh seorang bidang kader. Miris mendengarkan jika ada pengelompokan tipikal kader konservatif, kader liberal, kader ustadz atau kader politik. Sementara sikap ekslusif bukanlah profil kader IMM. Bisakah kader IMM berpikir?

Teras Empang, 13 Maret 2017

PTM dan Tantang Kaderisasi IMM
Temu Ide, Menuju Musyda IMM Sulsel
Ideofilor IMM, Sebuah Refleksi Intelektual
IMM, Kuburan Massal Intelektual

1 thoughts on “Bisakah IMM berpikir ; Menjawab Kegelisahan Kader di Sulawesi Selatan

Tinggalkan komentar